Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menilai bahwa deflasi empat bulan berturut-turut yang terjadi di Indonesia tidak sepenuhnya mencerminkan kondisi daya beli masyarakat yang sedang tertekan. Menurutnya, angka inflasi inti yang masih stabil menjadi indikator yang lebih relevan dalam mengukur daya beli masyarakat. Deflasi yang terjadi saat ini lebih disebabkan oleh penurunan harga bahan pangan yang fluktuatif.
“Saat melihat core inflation yang masih positif, mungkin bukan dari situ sumber deflasinya,” ujar Sri Mulyani ketika diwawancarai di Gedung DPD, Jakarta, pada Senin (2/9/2024). “Pemerintah memang telah berupaya menurunkan harga pangan, terutama saat inflasi dari harga pangan seperti beras cukup tinggi, terutama saat terjadi El Nino. Jadi, penurunan harga pangan merupakan tren positif yang dikejar oleh pemerintah.”
Meskipun demikian, Sri Mulyani tetap menegaskan bahwa pemerintah akan tetap waspada terhadap data-data ekonomi yang strategis. Meskipun deflasi empat bulan berturut-turut tidak disebabkan oleh angka inflasi inti yang merosot, hal ini tidak menunjukkan bahwa daya beli masyarakat tidak terpengaruh.
“Kita harus tetap waspada, namun jika melihat core inflation yang masih baik dan terus tumbuh, maka itu adalah hal yang positif,” tambah Sri Mulyani.
Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan bahwa Indonesia mengalami deflasi sebesar 0,03% (bulan ke bulan) pada bulan Agustus 2024. Penurunan harga pangan seperti bawang merah, daging ayam ras, tomat, dan telur ayam ras menjadi penyebab utama deflasi ini. Ini merupakan deflasi empat bulan berturut-turut sejak Mei 2024. BPS juga menegaskan bahwa deflasi ini tidak mengindikasikan pelemahan daya beli masyarakat.
“Penyebab dari deflasi empat bulan ini lebih disebabkan oleh faktor pasokan, dimana panen beberapa komoditas pangan mengalami peningkatan dan turunnya biaya produksi, seperti pada livebird, serta penurunan harga jagung sebagai bahan pakan ternak,” ungkap Deputi Bidang Distribusi dan Jasa BPS, Pudji Ismartini dalam keterangan resmi BPS pada Senin (2/9/2024).
Pudji menegaskan bahwa deflasi masih terjadi pada sisi penawaran, dan jika hal ini berdampak pada pendapatan masyarakat di sektor pertanian dan peternakan, maka BPS akan melakukan kajian lebih lanjut untuk membuktikan asumsi tersebut. Jika terjadi penurunan daya beli, maka konsumsi non-pangan akan terpengaruh, dimana rumah tangga akan cenderung menahan konsumsi non-makanan.
BPS juga mencatat bahwa fenomena deflasi berturut-turut pernah terjadi pada tahun 1999 setelah krisis finansial Asia. Saat itu, Indonesia mengalami deflasi selama 7 bulan berturut-turut, mulai dari Maret 1999 hingga September 1999.
“Ini disebabkan oleh depresiasi nilai tukar dan penurunan harga beberapa jenis barang,” jelas Pudji.
Dengan demikian, meskipun deflasi empat bulan berturut-turut terjadi, pemerintah dan BPS tetap memantau kondisi ekonomi secara cermat untuk menjaga stabilitas dan kesejahteraan masyarakat.