RUU Pelarangan Konsumsi Daging Anjing dan Kucing Ditolak Para Pecinta Hewan Unjuk Rasa

Para aktivis dan pecinta hewan yang tergabung dalam Dog Meat Free Indonesia (DMFI) baru-baru ini menggelar aksi protes di depan DPR, menuntut disahkannya RUU yang melarang kekerasan terhadap hewan domestik serta perdagangan daging anjing dan kucing. Aksi ini dilakukan pada Kamis (21/11) sebagai respons terhadap penolakan dari anggota DPR, terutama Firman Soebagyo, yang menilai RUU tersebut tidak penting.

Dalam aksi tersebut, para pengunjuk rasa mengkritik keras pernyataan Firman yang menyebutkan bahwa RUU tersebut seharusnya dihapus saja, karena dianggap tidak perlu. Mereka merasa pernyataan itu tidak masuk akal. “Kami baca di media, salah satu anggota Baleg bilang enggak usah, dihapus aja, enggak penting. Terus bilang mereka harus melindungi pemakan dan pedagang, itu kan enggak logis,” ujar Karin Franken, koordinator aksi, di lokasi.

DMFI sendiri merupakan organisasi yang mengadvokasi perlindungan hewan, baik di tingkat nasional maupun internasional, dan melibatkan berbagai kelompok seperti JAAN Domestic Indonesia, Animal Friends Jogja, dan Humane Society International.

Karin, yang juga Koordinator JAAN Domestic Indonesia, menjelaskan bahwa hanya sekitar 4,5 persen masyarakat Indonesia yang mengonsumsi daging anjing. Menurutnya, alasan Firman menolak RUU tersebut sangat tidak masuk akal, mengingat sebagian besar masyarakat Indonesia tidak makan daging anjing atau kucing.

“Memang ada sebagian kecil yang makan daging anjing atau kucing, tapi 95 persen masyarakat Indonesia setuju kalau perdagangan daging anjing itu dihentikan,” tambah Karin.

Selain itu, Manajer Hukum dan Advokasi DMFI, Adrian Hane, menduga bahwa Firman mungkin khawatir bahwa RUU yang didorong DMFI akan menghambat usulan RUU lainnya yang ingin dimasukkan dalam Prolegnas. Padahal, usulan RUU tersebut sudah didasarkan pada riset dan fakta ilmiah yang lengkap. “Kami sudah menyampaikan kajian sosiologis, pendapat dari para ahli, termasuk dokter hewan, ahli hukum, hingga ahli sosiologi. Semua sudah kami paparkan di rapat Baleg,” jelas Adrian.

Sayangnya, meski semua bukti dan alasan sudah disampaikan, RUU ini tetap dianggap sebelah mata.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *