Perusahaan pembuat perkakas rumah tangga, Tupperware, sedang mengalami masa sulit. Mereka bahkan sudah mengajukan perlindungan kebangkrutan Bab 11. Produk Tupperware memang sangat populer di kalangan keluarga, terutama para ibu. Bahkan, rasa sayang ibu kepada anak bisa sama besar dengan cintanya terhadap Tupperware.
Tupperware memang sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari banyak orang. Emak-emak bahkan tak segan-segan memarahi buah hati mereka jika menemukan wadah makan atau botol minum Tupperware yang hilang. Namun, sayangnya, Tupperware mulai ketinggalan zaman.
Perusahaan asal Amerika Serikat ini kesulitan bersaing dengan kompetitor yang menawarkan produk serupa dengan harga lebih murah dan ramah lingkungan. Meskipun memiliki aset senilai US$500 juta hingga US$1 miliar, Tupperware masih memiliki kewajiban yang jauh lebih besar, mencapai US$1 miliar hingga US$10 miliar.
Tupperware Brands Corporation didirikan pada tahun 1946 oleh Earl Silas Tupper, seorang pengusaha AS yang memiliki obsesi dalam riset. Perusahaan ini telah menjadi perusahaan publik dan terdaftar di Bursa Efek New York (NYSE) dengan kode TUP.
Di situs resminya, Tupperware mengklaim telah menjangkau lebih dari 80 negara di dunia, termasuk Indonesia. Di Indonesia sendiri, terdapat lebih dari 150 ribu tenaga penjualan independen yang tersebar di 203 lokasi kantor penjualan.
Tupperware terkenal karena inovasinya dalam produk plastik. Earl S. Tupper berhasil menciptakan plastik yang fleksibel, kuat, ringan, dan tidak berbau dari ampas biji hitam polyethylene. Produk pertamanya, Wonderlier Bowl dan Bell Tumbler, sukses diluncurkan pasca Perang Dunia II dengan merek Tupperware.
Popularitas Tupperware semakin melonjak, terutama di kalangan wanita pascaperang. Salah satu strategi pemasarannya adalah Tupperware Home Party yang pertama kali diperkenalkan oleh Brownie Wise.
Namun, saat ini Tupperware sedang menghadapi tantangan besar. CEO Laurie Goldman telah melakukan upaya restrukturisasi utang dan bekerja sama dengan bank investasi Moelis & Co untuk mencari alternatif strategis. Namun, likuiditas perusahaan yang bermasalah membuat Tupperware ragu untuk melanjutkan bisnisnya.
Goldman dan timnya kini membutuhkan persetujuan pengadilan terkait perlindungan kebangkrutan. Jika disetujui, Tupperware akan terus berusaha menjual produknya sambil merencanakan proses penjualan bisnis mereka.
Semoga Tupperware bisa melewati masa sulit ini dan kembali bangkit. Kita semua tentu berharap agar perusahaan ini tetap dapat menyediakan produk berkualitas bagi keluarga di seluruh dunia.